Melalui Yayasan Karitatif MJF, Merrill J Fernando memberi beasiswa bagi 245 siswa dari
keluarga miskin yang bekerja di perkebunan teh Dilmah di Sri Lanka.
Sebanyak
2.000 anak miskin lainnya belajar dan bermain di rumah-rumah singgah yang
dibangun yayasan itu, sementara 1.000 anak lainnya ikut program pengembangan
anak sesuai bakat. Lebih dari 150 anak cacat dari keluarga kurang mampu juga
mendapat pendidikan khusus, terapi, dan pelatihan.
Yayasan
Karitatif MJF juga membangun 200 rumah bagi keluarga miskin dan 100 rumah bagi
para janda korban perang, serta membuka program usaha kecil yang diikuti 800
keluarga miskin.
Bukan
hanya itu, sejak 2000, ia menawarkan usaha kecil bagi para narapidana yang
sudah bebas. ”Saat
ini ada 224 narapidana yang kami beri modal kerja berupa mesin-mesin, uang, dan
tempat kerja. Jumlah ini masih jauh lebih kecil daripada jumlah narapidana di
Sri Lanka yang jumlahnya sekarang sekitar 4.000 orang. Saya masih prihatin
terhadap situasi ini,” tutur Fernando (85), di sela-sela makan siang di Kota
Piliyandala, Sri Lanka, Jumat (20/3).
Menurut
dia, sumber kejahatan di dunia antara lain berasal dari kemiskinan ekonomi dan
rendahnya kualitas pendidikan serta keterampilan.
”Oleh
karena itu, kami mengutamakan pendidikan dan pelatihan bagi anak-anak serta
pengembangan usaha kecil bagi para narapidana,” kata pria kelahiran Desa
Pallansena, Sri Lanka, pada 1930 itu.
Melawan Korporasi
Semangat
Fernando menolong kaum papa itu tak cuma tindakan karitatif. Ia juga ingin
mengubah struktur dan sistem dunia usaha di Sri Lanka, yang pada satu era
pernah lebih memihak pada korporasi multinasional ketimbang perusahaan
domestik. Kondisi ini amat memprihatinkan.
”Saya
tidak percaya karma. Orang menjadi miskin bukan karena karma atau kutukan dan
belum tentu karena malas. Sering terjadi, meluasnya kemiskinan disebabkan
karena struktur dan sistem perekonomian dan dunia usaha yang lebih banyak
memberikan akses para pemodal besar,” tandas Fernando.
Ia
lalu bercerita, awalnya perusahaan teh yang ada di Sri Lanka sebagian besar
masih dikelola perusahaan keluarga lokal. Namun, kondisi kepemilikan ini
berangsur-angsur berubah. Sampai akhirnya datang kekuatan multinasional yang
membangkrutkan usaha di kalangan perusahaan teh keluarga pada 1950-an. Padahal,
para pedagang asing ini, kata Fernando, cuma mengekspor teh mentah Sri Lanka.
Di
luar Sri Lanka, teh yang dikenal berkualitas tinggi itu lalu dicampur dengan
teh jenis lain yang harganya lebih murah. Setelah dicampur, teh oplosan itu
lalu dikemas dan dijual dengan atribut sebagai teh Ceylon (Sri Lanka).
Dengan
mengoplos teh berkualitas tinggi dan teh kualitas rendah ini, para pedagang
asing bisa mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Meskipun sudah
mendapatkan keuntungan yang besar, tetapi para pedagang asing ini terus menekan
biaya produksi dengan mengorbankan pendapatan para pemetik teh.
Fernando
sedih dan marah melihat kenyataan ini. Ia pun bertekad memperbaiki kondisi yang
telah menghancurkan kehidupan pengusaha perkebunan teh lokal ini.
”Idealnya,
teh Sri Lanka, ya, ditanam dan diolah di Sri Lanka. Lalu dipasarkan lewat
kendali kantor pusat di Sri Lanka. Dengan demikian, sebagian besar keuntungan
dari industri teh bisa kembali ke Sri Lanka dan dinikmati warga Sri Lanka,”
kata Fernando.
Reformasi
agraria
Berbekal
dua mesin pengolah teh dan beberapa petak kebun teh, Fernando pun mulai
memproduksi teh sampai akhirnya ia memiliki 330 hektar kebun teh. Namun, ia
menyesal, karena pada 1975 muncul reformasi agraria (land reform). Akibatnya,
kepemilikan tanah, baik perseorangan maupun perusahaan, dibatasi maksimal 50
hektar.
Perusahaan
teh Fernando pun kehilangan 280 hektar perkebunan tehnya. Namun, setelah
dilakukan berbagai revisi reformasi agraria, perkebunan Fernando pun kembali
meluas sampai akhirnya pada 1988, ia mendirikan lagi perusahaan teh yang bisa
memproses teh dari hulu sampai hilir. Itulah Teh Dilmah.
Kini,
Dilmah memiliki perkebunan teh seluas 20.000 hektar. Meski demikian, Fernando
tak ingin perusahaannya membengkak menjadi konglomerasi.
”Tanah
perkebunan seluas itu sudah lebih dari cukup. Pabrik yang ada pun tak akan kami
tambah lagi. Demikian pula jumlah pekerja yang sudah mencapai 30.000 orang. Tak
mungkin mempertahankan integritas usaha dan produk jika yang diproduksi sudah
menjadi produk massal,” ujar Fernando.
Selain
itu, lanjutnya, proses konglomerasi usaha justru akan mengecilkan atau bahkan
menutup peluang usaha orang lain untuk maju.
Pewaris
Fernando
lahir di kota kecil nelayan Negombo, di pantai barat Sri Lanka yang jaraknya 25
mil dari Kolombo. Ia merupakan salah satu dari lima anak pasangan Harry dan
Lucih.
Fernando
dan keempat saudaranya tumbuh di tengah keluarga Katolik kelas menengah. Tidak
mengherankan jika Fernando bersama saudaranya bisa menamatkan sekolah mereka di
Kolese Stella Maris di Negombo.
Di
usia 20, Fernando menjadi salah satu orang Sri Lanka pertama yang diizinkan
mendapat pelatihan sebagai pencicip teh di Mincing Lane, London, Inggris. Di
sanalah ia tersadar jika telah terjadi ketidakadilan dalam bisnis global teh
Sri Lanka.
Fernando
menikah dan dikaruniai dua putra, yang diberi nama Malik dan Dilhan.
Penggabungan kedua nama anak inilah yang menjadi inspirasi Fernando menamakan
teh produksinya, Dilmah. Kini, teh ini tersedia di lebih dari 90 negara,
termasuk Inggris, Turki, Indonesia, Lituania, Rusia, Hongaria, Kanada, Afrika
Selatan, Australia, Jepang, dan Selandia Baru.
Namun,
Dilhan-lah yang saat ini melanjutkan usaha Fernando di bidang produksi teh.
Sementara Malik lebih memilih usaha mengembangkan industri properti.
”Salah
satu hotel yang dibangun Malik di Sri Lanka tercatat sebagai lima hotel terbaik
di dunia,” kata Fernando bangga.
”Saya
berharap, kedua anak saya tetap memelihara integritas seperti yang sudah saya
lakukan. Integritas itu antara lain ditandai dengan sikap adil dan lebih
memihak kepada yang lemah,” tuturnya menutup pembicaraan siang itu.
http://print.kompas.com