Dampak El Nino: 10.000 Hektare Lahan Perkebunan Terancam Sulit Air

Bisnis.com, BANDUNG--Dinas Perkebunan Jabar sudah mendata potensi kekeringan yang akan melanda kawasan perkebunan di Jabar.

Kepala Dinas Perkebunan Jawa Barat Arief Santosa mengatakan perhitungan pihaknya daerah di Jabar Selatan seperti Garut, Ciamis, Cianjur, Sukabumi yang terancam sekitar 10.000 hektare.

Namun kekeringan lahan perkebunan berbeda dengan kekeringan lahan pertanian karena kekeringan perkebunan berada di dataran tinggi sehingga sangat bergantung pada sumber mata air.
"Lahan kebun sudah terkena kekeringan lahan yang ditanami oleh tanaman teh dan kopi," katanya di Bandung, Minggu (2/8/2015).

Pihaknya memperkirakan musim kemarau saat ini produksi teh dan kopi Jabar akan menurun antara 10-15% per hektare-nya.
"Kalau normal itu produksi teh bisa 1,5 ton per hektare turun menjadi 1,2 ton  per hektare. Jadi ada penurunan produktivitas," ujarnya.

Sementara penurunan  untuk kopi menurutnya dari produksi sekitar 32.000 ton per tahun turun sekitar 3.000 ton. "Jadi perkebunan kopi milik rakyat sekitar 52.000 hektare, yang terkena di daerah Selatan Jabar hampir separuhnya  potensi terkena kekeringan," katanya

sumber : http://bandung.bisnis.com

Agustus Merupakan Puncak Panen Kopi Robusta di Bawen


Agustus Merupakan Puncak Panen Kopi Robusta di Bawen
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Deni Setiawan
TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN - Koordinator Mandor Kebun Getas Afdelin Asinan Bawen Kabupaten Semarang, Suryono (47) menyampaikan, tanaman kopi  milik PTPN IX Semarang itu hanya bisa panen setahun sekali.

"Musim panen mulai Juli hingga September 2015 dan puncaknya pada Agustus 2015 ini. Buah kopi biasanya mulai berwarna merah di pertengahan hingga akhir Juli," jelas Suryono kepada Tribun Jateng, Minggu (2/8/2015).

Dia menjabarkan, tanaman kopi yang berbunga setidaknya membutuhkan waktu sekitar 12 jam untuk penyerbukan. Di waktu itu, akan bisa optimal apabila tidak terganggu hujan. "Di musim panen raya, paling sedikit kami libatkan warga sekitar atau ada sekitar 400 petani. Rata-rata tiap orang bisa memetik sekitar 113 kilogram," jelasnya.

Suryono menambahkan, kopi hasil panen itu kemudian diproses di pabrik. Di sana petugas akan menyortir biji kopi, pengeringan, hingga memproduksi menjadi bubuk. "Di kebun ini, kopinya berjenis robusta. Rata-rata satu orang bisa memperoleh upah Rp 60.000 per hari," jelasnya. (*)

sumber : http://jateng.tribunnews.com

Pemerintah Harus Revisi Bea Keluar Biji Kakao

Biji Kakao

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) meminta kepada pemerintah agar melakukan revisi tarif bea keluar biji kakao menjadi tarif flat 15 persen. Hal ini untuk menghambat agar biji kakao tidak terlalu banyak di ekspor dan bisa diserap oleh industri di dalam negeri.

"Produksi biji kakao di dalam negeri turun sehingga efeknya tahun lalu, industri kita harus impor mencapai 110 ribu ton," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia Sindra Wijaya di Jakarta, Rabu (29/7).

Sindra mengatakan, kebutuhan kakao di dalam negeri pada 2014 lalu mencapai 400 ribu ton sedangkan pada tahun ini diprediksi kebutuhan akan naik menjadi 450 ribu ton. Produksi biji kakao pada tahun lalu sebesar 400 ribu ton dan di ekspor sebanyak 63 ribu ton. Dengan demikian industri coklat di dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku.

Sindra menjelaskan, kapasitas terpasang industri kakao bisa mencapai 700 ribu ton. Saat ini kapasitas yang terpakai baru mencapai sekitar 50 persen saja, karena kurangnya bahan baku.

"Bahan baku kakao turun karena sebagian besar perkebunan kakao sudah tua yakni berusia lebih dari 30 tahun sehingga produktifitasnya menurun," kata Sindra.

Selain itu, penyebab lain produksi biji kakao turun adalah adanya alih fungsi lahan dari kakao menjadi sawit. Sindra mengatakan, program Gernas Kakao yang dijalankan oleh Kementerian Pertanian sejak 2009 belum maksimal karena baru mencakup 26 persen dari keseluruhan area nasional. Sindra berharap, program ini bisa terus berjalan agar produksi naik sehingga impor biji kakao berkurang dan industri berkembang.

Seiring dengan hal tersebut tarif bea keluar biji kakao juga harus direvisi oleh pemerintah. Tak hanya itu, Sindra juga mengusulkan agar pemerintah membebaskan PPn sebesar 10 persen agar bisa meningkatkan daya saing dan penghasilan petani kakao.

sumber : http://www.republika.co.id

Indonesia Masih Kekurangan Kakao

WE Online Jakarta- Sebagai komoditas perkebunan yang banyak disukai dan dibutuhkan industri, produksi kakao tergolong memiliki masa depan yang baik di Indonesia walaupun pengusahaan komoditas kakao di Indonesia terus menurun akibat produktivitas lahan menurun, konversi tanaman, dan pengalihan fungsi lahan.
Menurut Executive Director Asosiasi Industri Kakao Indonesia Sindra Wijaya, kondisi tersebut menyebabkan industri dalam negeri harus mengimpor 110.000 ton kakao dari luar negeri. Pada tahun 2014, kebutuhan dan produksi kakao di Indonesia sebenarnya mencukupi, yaitu 400.000 ton.
"Namun, ada sebagian kakao tersebut diimpor dalam kondisi mentah. Akibatnya kita harus impor lagi untuk kebutuhan dalam negeri," ujarnya di Jakarta, Rabu (29/7/2015).
Kebutuhan kakao untuk industri diperkirakan meningkat menjadi 450.000 ton. "Kami ragu produksi kakao dari petani mencukupi, bahkan cenderung menurun dibandingkan dengan tahun lalu. Apalagi terjadi alih fungsi lahan kakao di Sulawesi menjadi sawit," katanya.
Sindra berharap ada revisi tarif bea keluar untuk menahan ekspor kakao, yang kini 0%-15%. Pihaknya berharap agar tarif bea keluar tersebut mencapai flat 15%. "Jadi produksi kakao lokal bisa diserap oleh industri dan impor kakao bisa dikurangi sehingga bisa memperbaiki neraca perdagangan," ucapnya.
Para pelaku industri kakao juga berharap PPN komoditas primer bisa kembali dibebaskan. Pemberlakukan pajak ponambahan nilai memengaruhi produktivilas pclani dan sektor hulu.
"Pemberlakukan PPN baru dilakukan tahun lalu. Kami berharap kembali dibebaskan sehingga membantu menaikkan daya saing industri," ujarnya.
Sindra mengatakan, pihaknya juga meminta agar pemerintah mengatasi perlakuan diskriminatif terhadap produk jadi kakao Indonesia yang diekspor ke Eropa. Saat ini produk kakao dari Indonesia dikenakan bea masuk 7%-8%, lain halnya dengan produk-produk dari Afrika yang dikenakan bea masuk 0%.
Devisa Indonesia untuk kakao sebesar Rp 1,1 miliar pada tahun 2014. Pada kuartal pertama 2015, devisa telah mencapai 25% dari jumlah tersebut.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, sudah mengirimkan surat permohonan resmi kepada Kementerian Keuangan mengenai tarif bea keluar kakao, tetapi belum ditanggapi. "Sudah berbulan-bulan lalu, nanti kami follow up lagi," tuturnya.
Mengenai diskriminasi ekspor pasar Eropa, Panggah mengatakan, sudah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan. "Namun, ada pernyataan kalau bea masuk ke Eropa diturunkan, barang mereka masuk ke sini juga harus diturunkan tarifnya. Nah itu yang masih dalam tahap negosiasi," ujarnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Jawa Barat-Banten, Slamet Bangsadikusumah, mengatakan, pengusahaan kakao masih menarik minat sejumlah pengusaha perkebunan di Jawa Barat-Banten. "Tantangannya, cuma faktor pengamanan dari gangguan pencurian," ujarnya.
Editor: Boyke P. Siregar
Foto: kebunbibit.id

sumber: http://wartaekonomi.co.id

Stabilkan Harga, Petani Kakao Memilih Untuk Lakukan Fermentasi

Stabilkan Harga, Petani Kakao Memilih untuk Lakukan Fermentasi
Bisnis.com, JAKARTA – Petani biji kakao menyatakan berkomitmen untuk melakukan fermentasi demi menjaga harga komoditas tersebut di pasar lebih baik.
Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKI) Arief Zamroni menyampaikan proses fermentasi kakao dapat mengerek harga hingga ke rata-rata Rp30.000 per kilogram dari biji kakao biasa yang harganya rata-rata berada di level Rp27.000 per kilogram.
“Fermentasi kakao ini amat kami dorong, sesuai dengan Permentan 67 tahun 2014. Meski beberapa petani merasa berat karena penambahan biaya, fermentasi kakao tetap kami sosialisasikan,” jelas Arief saat dihubungi Bisnis.com, Sabtu (1/8/2015).
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Pertanian tengah mendorong petani biji kakao untuk dapat memberlakukan sistem fermentasi biji kakao karena mutu yang lebih baik akan daoat mengerek harga sehingga meningkatkan pendapatan petani.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Yusni Emilia Harahap belum lama ini menyampaikan pihaknya pun terus melakukan sosialisasi, demi menjaga kualitas kakao produksi dalam negeri.
“Kita beri petani pengertian kalau ini harus diterapkan untuk memperbaiki mutu dan harganya lebih baik,” kata Emilia.
Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan produksi rata-rata sebanyak 600.000-700.000 ton per tahun atau sekitar 13,6% dari total produksi dunia.
Jika difermentasi, biji kakao akan menghasilkan cita rasa coklat yang lebih enak serta dapat mengurangi rasa pahit pada biji. Kakao yang difermentasi pun lebih tahan lama karena dapat mematikan bakteri seperti jamur tumbuh di buah tersebut.

Sumber :  http://industri.bisnis.com

PTPN X Catatkan HPP Gula Rp 6000 Per Kg


Wartaagro.com – PT Perkebunan Nusantara (PTPN X) mencatatkan Harga Pokok Produksi (HPP) gula diangka Rp 6.000 per kg. HPP ini dinilai lebih rendah dibandingkan dengan pabrik gula yang dikelola BUMN lain.
“Rendahnya HPP ini menunjukkan tingginya performance pabrik. Bila di pabrik tingkat efisiensinya rendah maka akan sangat sulit untuk mendapatkan HPP rendah,” kata Direktur Utama PTPN X, Subiyono, Rabu (29/7).

Ia menuturkan, pencapaian HPP yang rendah itu merupakan hasil dari proses revitalisasi pabrik gula sehingga tingkat kehilangan dan efisiensi di pabrik sudah semakin baik. Kondisi itu bisa lebih ditingkatkan lagi guna menekan biaya produksi agar HPP bisa lebih rendah.

Dengan HPP yang rendah, maka gula kristal putih lokal bisa bersaing dengan gula impor. Pada Desember mendatang akan mulai diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Agar bisa terus bertahan dan berkembang, industri gula tanah air harus bisa melakukan efisiensi dan melakukan diversifikasi produk.

"Mau tidak mau, kita akan masuk ke era MEA. Untuk itu, memandang industri gula harus dilihat dengan prespektif global bukan hanya PTPN X saja.Dalam menghadapi MEA, bila industri gula dalam negeri tidak mempunyai daya saing maka akan sangat sulit. Sebab, Indonesia akan segera  digempur impor gula yang harganya lebih murah,” ujarnya.

Ia pun menyatakan siap menghadapi diberlakukannya MEA. Untuk mengantispasinya, industri gula lokal juga harus melakukan langkah-langkah strategis seperti melakukan otomatisasi dan mekanisasi di ladang (on farm) maupun memulai produksi produk turunan seperti listrik dari ampas tebu maupun bioetanol dari tetes tebu seperti yang sudah dilakukan PG milik PTPN X.

Harga gula lokal juga bakal kalah bersaing dengan gula impor. Misalnya HPP gula Thailand saat ini tak lebih dari Rp 4.500/kg sedangkan HPP (harga patokan pemerintah) gula lokal kini mencapai Rp 8.500/kg.
“Dengan pembebanan bea masuk saja, gula Thailand masih sangat menarik dari sisi harga, apalagi jika nantinya bea masuknya dihapuskan setelah adanya MEA. Industri kita tidak akan bisa bersaing, karena konsumen akan memilih gula yang harganya jauh lebih murah,” katanya.

Ia menuturkan, ketika MEA resmi diberlakukan, maka produksi gula lokal tidak akan bisa bertahan menghadapi serbuan produk impor.
“Negara tetangga kita seperti Thailand siap membanjiri pasar dengan produk mereka jika kita tidak bsia meningkatkan daya saing,” ujarnya.
Seperti diketahui, Thailand saat ini cukup sukses mengembangkan industri gula. Dengan hanya konsumsi gula tahunan sebesar 2 juta ton, industri gula Thailand dalam setahun mampu menghasilkan 10 juta ton gula, sehingga sisanya banyak diekspor, salah satunya ke Indonesia.

“Artinya mereka sudah sejak awal membidik pasar ekspor. Produk gula Thailand cukup bersaing di pasaran karena HPP mereka jauh lebih rendah dari pada gula lokal,” tuturnya.
Subiyono mengatakan, rahasia keberhasilan industri gula Thailand adalah dengan diversifikasi produk industri gula seperti listrik dan produk turunan lain seperti bioetanol. Gula saat ini bukan lagi menjadi fokus utama industri di Thailand untuk mengejar laba. Pabrik-pabrik gula di Thailand justru mengandalkan produk sampingan untuk menutup biaya produksi sehingga harga gula bisa ditekan serendah mungkin. (kmj/wa3)

sumber :  http://wartaagro.com

Impor Gula Rafinasi Pengaruhi Produksi Nasional

Impor Gula Rafinasi Pengaruhi Produksi Nasional
Anggota DPR RI Komisi IV Rofi Munawar
VIVA.co.id - Kementerian Perdagangan kembali menerbitkan izin impor 600 ribu ton gula mentah untuk pabrik gula rafinasi. Alasannya, impor gula kembali dibuka untuk menjaga pasokan bagi industri makanan dan minuman. Ironisnya kebijakan tersebut dilakukan saat serapan gula domestik tidak maksimal dilakukan dan data neraca kebutuhan konsumsi gula tidak akurat.

“Perlunya proses data audit kebutuhan gula nasional di sinkronisasi antara pemerintah, produsen, dan distributor. Jangan biarkan permasalahan dan polemik importasi gula ini berlarut-larut setiap tahun. Selain itu pemerintah harus secara serius mengembangkan industri gula nasional sebagai basis produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik, selama tidak ada komitmen tersebut, maka proses importasi gula rafinasi secara besar-besaran akan terus terjadi,” ungkap Anggota DPR RI Komisi IV Rofi Munawar Minggu, 26 Juli 2015.

Rofi mengaku heran dengan pernyataan Mendag Gobel yang mengatakan, importasi gula rafinasi dilakukan untuk mencegah beredarnya gula impor illegal. Padahal peredaran gula illegal lebih kepada keseriusan dalam peningkatan kapasitas dan penegakan hukum. Selain itu adanya peredaran gula illegal karena tidak kompetitifnya gula nasional secara umum akibat harga yang lebih tinggi dan sistem produksi belum efisien.

“Revitalisasi industri gula nasional mendesak dilakukan, banyak pabrik gula nasional tertinggal secara teknologi dan berumur tua minim peremajaan. Importasi gula rafinasi bisa diminimalisir dengan kuatnya produksi serta efisiennya industri gula nasional, selama itu tidak terjadi maka selama itu juga gula rafinasi impor akan membanjiri pasar lokal,” tegasnya.

Legislator asal Jatim ini menjelaskan, masalah utama dalam industri gula nasional adalah rendahnya produksi akibat produktivitas dan efisiensi industri gula nasional secara keseluruhan, dari mulai hulu hingga hilir. Semakin menurunnya luas areal dan produktivitas tebu yang dihasilkan petani serta rendahnya produktivitas pabrik gula serta manajemen pabrik yang tidak efisien, adalah pemicu rendahnya produksi gula nasional.

Selain itu rendahnya harga gula di pasar dunia akibat over produksi menyebabkan pasokan berlebih serta adanya kebijakan dari negara-negara eksportir, telah menyebabkan pelaku usaha dalam negeri lebih memilih membeli gula impor dibandingkan gula produksi domestik. Keadaan ini menyebabkan industri gula nasional menjadi semakin tidak berdaya menghadapi serbuan gula impor yang lebih murah.
Ketergantungan pada impor yang semakin meningkat, kata dia, selain semakin menurunkan pertumbuhan industri gula dalam negeri, juga merupakan salah satu ancaman terhadap kemandirian pangan yang mensyaratkan pemenuhan pangan pokok dari dalam negeri.

sumber : http://politik.news.viva.co.id

Kebakaran Pabrik Gula Candi Membuat Panik Pekerja

Kebakaran Pabrik Gula Candi Membuat Panik Pekerja 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 TRIBUNNEWS.COM.SURABAYA – Kobaran api di Pabrik Gula Candi, Kabupaten Sidoarjo, Jumat (31/7/2015) tidak begitu terlihat. Namun asap yang dihasilkan dari ampas tebu membumbung tinggi.

Kondisi Jalan Raya Candi pun gelap. Asap pekat penyelimuti kawasan ini. Polisi dibantu petugas Dishub mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kecelakaan.
Menurut seorang pekerja, asap awalnya terlihat sekitar pukul 11.15 WIB di peyimpanan ampas.
Ampas itu sejatinya dipakai untuk bahan bakar katel pengola air tebu. "Asapnya cepat membesar. Terus tiba-tiba muncul api," ujarnya.

Kebakaran ini membuat panik ratusan pekerja dan pekerja angkut tebu berhamburan keluar ruangan. Mereka berusaha memadamkan api.
"Tadi sempat disiram tapi apinya sudah besar. Api baru bisa dikendalikan saat pemadam datang," katanya.

Harga Tertekan, Ekspor Karet Sumut Lesu

Foto: rohultoday
BELAWAN - Ekspor karet Sumut melalui Pelabuhan Belawan pada semester pertama 2015 mengalami kelesuan. Penurunan ekspor komoditas ini ditengarai karena harga yang terus tertekan, dan sepinya permintaan pasar. Kondisi ini berbanding terbalik dengan ekspor pangan Indonesia, yang diprediksi Presiden Jokowi, 3 tahun ke depan, Tanah Air bakal mampu menjadi negara pemasok pangan dunia.
 
Seperti dikutip dari Sumut Pos (Grup JPNN), berdasarkan data Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) PT Pelindo I Cabang Belawan, untuk periode Januari-Februari 2015, ekspor karet ke sejumlah negara mitra dagang utama pihak eksportir Sumut, seperti Tiongkok, India, Jerman, Turki, Amerika Serikta (AS), dan Korea Selatan, rata-rata mencapai 7.069 ton. Namun memasuki Maret-April, permintaan mulai mengalami kenaikan tipis, yakni pada kisaran 10.155 ton. Namun pada Mei dan Juni, kembali mengalami penurunan, atau hanya mencapai 7.123 ton. 

Humas PT Pelindo I Cabang Belawan, Roswita mengatakan, tekanan pasar terhadap karet Sumut yang terus terjadi dalam 2 tahun terakhir, menyebabkan nilai ekspor komoditas ini mengalami kelesuan. 

"Semester pertama 2015, ekspor karet melalui Pelabuhan Belawan jumlahnya hanya 24.347 ton. Kemungkinan besar tekanan pasar masih menjadi penyebab anjloknya ekspor karet di daerah ini," tuturnya.

Tekanan terhadap kinerja ekspor karet Sumut tahun ini, sambung Roswita, kurang lebih masih sama dengan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Permintaan dari negara-negara tujuan utama, seperti Tiongkok, AS, dan India masih rendah. 

"Tekanan terhadap ekspor karet Sumut masih akan terus berlanjut hingga akhir 2015. Ini terlihat dari kondisi ekonomi dunia yang belum juga stabil. Bahkan, hal ini diperparah dengan kebijakan Tiongkok dan India, yang menaikkan bea masuk (BM) karet alam," jelas Roswita.

Sementara Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman mengatakan, secara nasional, ekspor jagung Indonesia telah mencapai 400 ribu ton yang bersumber dari Gorontalo, Sulawesi Selatan, Dompu, Bima, dan Sumbawa, serta daerah lainnya. 

sumber : http://m.jpnn.com

Berikut Harga TBS Jambi Periode 31 Juli-6 Agustus


INFO SAWIT, JAMBI - Berdasarkan hasil keputusan rapat tim penetapan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit Dinas Perkebunan Provinsi Jambi untuk periode 31 Juli – 6 Agustus 2015, harga TBS usia tiga tahun kembali anjlok Rp40/kg dari Rp1.203/kg menjadi Rp 1.163/kg.
Sementara untuk usia empat tahun menjadi Rp 1236/kg, usia lima tahun sebesar Rp1.293/kg, usia enam tahun Rp1.347/kg, usia tujuh tahun  Rp1.381/kg, dan usia delapan tahun Rp1.410/kg.
Sedangkan usia sembilan tahun tercatat sebesar Rp1.438/ kg, dan usia 10 tahun keatas Rp1.482/ kg.
Adapun harga rata-rata minyak sawit mentah (CPO) turun signifikan Rp240/kg menjadi Rp6.643 /kg dari Rp6.883/kg, sedangkan untuk inti sawit (PK) menjadi Rp4.118/kg dari Rp4.217 /kg dengan indeks K 88,73%. (T3)

Sumber : http://www.infosawit.com

Petani Mengeluh, Harga Sawit Terus Menurun


MedanBisnis - Jambi. Sejumlah petani sawit di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi mengeluhkan harga kelapa sawit yang terus mengalami penurunan sejak beberapa bulan terakhir.
"Kami berharap harga kelapa sawit bisa membaik lagi, sebab sudah beberapa bulan lalu harganya terus anjlok," kata seorang petani Sarolangun, Kahono, yang dihubungi dari Jambi, Kamis (30/7).

Yadi, petani lainnya juga menyatakan saat ini harga tandan buah segara (TBS) kelapa sawit yang dijual petani ke pengumpul berkisar Rp700 hingga Rp900 per kilogram. "Kalau harganya bertahan seperti saat ini atau turun terus maka kami rugi sebab tidak sebanding lagi dengan pengeluaran untuk operasional," katanya.

Sementara tim perumus dalam rapat yang dihadiri pihak pengusaha sawit, koperasi maupun kelompok tani sawit di Jambi memperhitungkan harga TBS untuk periode 31 Juli-6 Agustus 2015 senilai Rp1.163,52 per kilogram, umur tiga tahun.

Sementara harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Provinsi Jambi untuk periode tersebut sebesar Rp6.643,77 per kilogram.

Pejabat pada Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Taruna Adi, menjelaskan harga rata-rata inti sawit pada periode 31 Juli-6 Agustus 2015 itu diperkirakan sebesar Rp4.118,67 per kilogram.

Tim analisa harga juga memperkirakan periode tersebut harga TBS berumur empat tahun senilai Rp1.236,13 per kilogram. TBS usia lima tahun Rp1.347,90 per kilogram.

Sementara harga tertinggi TBS yakni Rp1.482,12 per kilogram yang merupakan kelapa sawit berusia 10-20 tahun. "Kita berharap harga TBS itu bisa meningkat di masa mendatang," kata Taruna Andi. (ant)

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com

Pemerintah Jambi Dorong Perusahaan Sawit Miliki ISPO

Antara - 31 Juli 2015 18:16 WIB
Ilustrasi (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)
Ilustrasi (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)
Metrotvnews.com, Jambi: Pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Perkebunan terus mendorong perusahaan kelapa sawit di Jambi agar memiliki sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Hal ini penting untuk meningkatkan daya saing.

Pelaksana Harian Bidang Pengembangan Perkebunan Panca Pria mengatakan, berdasarkan mekanisme pasar ekspor di Eropa, Indonesia tidak bisa mengekspor Crude Palm Oil (CPO) ke pasar Eropa jika perusahaan kelapa sawit tidak memiliki ISPO.

"Eropa tidak mau membeli CPO  yang tidak higienis. Pasar Eropa mau beli CPO dari perusahaan yang memiliki seritifikat ISPO," katanya, di Jambi, Jumat (31/7/2015).

Untuk itu, ia melanjutkan, pemerintah akan menargetkan sampai bulan Oktober 2015 paling tidak semua perusahaan kelapa sawit di Jambi sudah mendaftar ke lembaga ISPO. "Setelah mendaftar belum tentu langsung mendapat ISPO karena prosesnya sangat panjang. Kami akan mendorong terus agar mereka mendaftar dulu," jelasnya.

Ia melanjutkan bahwa ada banyak aturan dan penilaian untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Sedikitnya ada tujuh prinsip, 39 kriteria, dan 128 indikator yang harus perusahaan penuhi soal kehigienisan CPO.

"Kita tidak bisa pungkiri investor itu percepatan pembangunan. Jadi dalam hal ini Dinas Perkebunan tetap membina agar perusahaan kelapa sawit memiliki sertifikat ISPO," pungkasnya.
ABD
Sumber : http://ekonomi.metrotvnews.com

Harga Kelapa Sawit di Bengkulu Anjlok, Petani Stres

Antara - 02 Agustus 2015 11:13 WIB
ilustrasi Kelapa Sawit, Antara/Wahyu Putro A
ilustrasi Kelapa Sawit, Antara/Wahyu Putro A

"Sudah dua kali turun dalam sebulan ini, sekarang hanya Rp650 per kg," kata Andri, petani sawit di Bengkulu, Minggu (2/8/2015).

Ia mengatakan sebelum hari raya Idul Fitri atau pertengahan Juli 2015, harga tandan buah segar sawit yang dijual di tingkat petani mencapai Rp1.100 per kg. Pasca lebaran, harga mulai merosot menjadi Rp900 per kg, lalu turun Rp800 per kg dan saat ini menjadi Rp650 per kg.

"Harga terus turun, membuat petani stres," katanya.

Selain harga sawit, harga karet di tingkat petani juga mengalami penurunan dari sebelumnya sudah mencapai Rp7.000 kg menjadi Rp5.000 per kg.

Ia mengatakan harga sawit dan karet yang mengalami penurunan membuat perekonomian petani semakin terpuruk.

Bahkan petani karet di daerah ini sudah terlebih dahulu mengeluhkan harga karet yang bertahan rendah selama dua tahun terakhir.

Sebelumnya pertengahan Juli 2015 pemerintah Provinsi Bengkulu menetapkan harga terendah tandan buah segar sawit seharga Rp1.265 per kg di tingkat pabrik atau lebih rendah dari harga yang disepakati perusahaan perkebunan sawit Rp1.331 per kg.

"Hanya ditolerir minus lima persen dari harga terendah yang ditetapkan organisasi perusahan perkebunan sawit," kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bengkulu Ricky Gunarwan.

 
SAW 
 
sumber : http://ekonomi.metrotvnews.com

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *