Dampak El Nino: 10.000 Hektare Lahan Perkebunan Terancam Sulit Air

Bisnis.com, BANDUNG--Dinas Perkebunan Jabar sudah mendata potensi kekeringan yang akan melanda kawasan perkebunan di Jabar.

Kepala Dinas Perkebunan Jawa Barat Arief Santosa mengatakan perhitungan pihaknya daerah di Jabar Selatan seperti Garut, Ciamis, Cianjur, Sukabumi yang terancam sekitar 10.000 hektare.

Namun kekeringan lahan perkebunan berbeda dengan kekeringan lahan pertanian karena kekeringan perkebunan berada di dataran tinggi sehingga sangat bergantung pada sumber mata air.
"Lahan kebun sudah terkena kekeringan lahan yang ditanami oleh tanaman teh dan kopi," katanya di Bandung, Minggu (2/8/2015).

Pihaknya memperkirakan musim kemarau saat ini produksi teh dan kopi Jabar akan menurun antara 10-15% per hektare-nya.
"Kalau normal itu produksi teh bisa 1,5 ton per hektare turun menjadi 1,2 ton  per hektare. Jadi ada penurunan produktivitas," ujarnya.

Sementara penurunan  untuk kopi menurutnya dari produksi sekitar 32.000 ton per tahun turun sekitar 3.000 ton. "Jadi perkebunan kopi milik rakyat sekitar 52.000 hektare, yang terkena di daerah Selatan Jabar hampir separuhnya  potensi terkena kekeringan," katanya

sumber : http://bandung.bisnis.com

Agustus Merupakan Puncak Panen Kopi Robusta di Bawen


Agustus Merupakan Puncak Panen Kopi Robusta di Bawen
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Deni Setiawan
TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN - Koordinator Mandor Kebun Getas Afdelin Asinan Bawen Kabupaten Semarang, Suryono (47) menyampaikan, tanaman kopi  milik PTPN IX Semarang itu hanya bisa panen setahun sekali.

"Musim panen mulai Juli hingga September 2015 dan puncaknya pada Agustus 2015 ini. Buah kopi biasanya mulai berwarna merah di pertengahan hingga akhir Juli," jelas Suryono kepada Tribun Jateng, Minggu (2/8/2015).

Dia menjabarkan, tanaman kopi yang berbunga setidaknya membutuhkan waktu sekitar 12 jam untuk penyerbukan. Di waktu itu, akan bisa optimal apabila tidak terganggu hujan. "Di musim panen raya, paling sedikit kami libatkan warga sekitar atau ada sekitar 400 petani. Rata-rata tiap orang bisa memetik sekitar 113 kilogram," jelasnya.

Suryono menambahkan, kopi hasil panen itu kemudian diproses di pabrik. Di sana petugas akan menyortir biji kopi, pengeringan, hingga memproduksi menjadi bubuk. "Di kebun ini, kopinya berjenis robusta. Rata-rata satu orang bisa memperoleh upah Rp 60.000 per hari," jelasnya. (*)

sumber : http://jateng.tribunnews.com

Pemerintah Harus Revisi Bea Keluar Biji Kakao

Biji Kakao

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) meminta kepada pemerintah agar melakukan revisi tarif bea keluar biji kakao menjadi tarif flat 15 persen. Hal ini untuk menghambat agar biji kakao tidak terlalu banyak di ekspor dan bisa diserap oleh industri di dalam negeri.

"Produksi biji kakao di dalam negeri turun sehingga efeknya tahun lalu, industri kita harus impor mencapai 110 ribu ton," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia Sindra Wijaya di Jakarta, Rabu (29/7).

Sindra mengatakan, kebutuhan kakao di dalam negeri pada 2014 lalu mencapai 400 ribu ton sedangkan pada tahun ini diprediksi kebutuhan akan naik menjadi 450 ribu ton. Produksi biji kakao pada tahun lalu sebesar 400 ribu ton dan di ekspor sebanyak 63 ribu ton. Dengan demikian industri coklat di dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku.

Sindra menjelaskan, kapasitas terpasang industri kakao bisa mencapai 700 ribu ton. Saat ini kapasitas yang terpakai baru mencapai sekitar 50 persen saja, karena kurangnya bahan baku.

"Bahan baku kakao turun karena sebagian besar perkebunan kakao sudah tua yakni berusia lebih dari 30 tahun sehingga produktifitasnya menurun," kata Sindra.

Selain itu, penyebab lain produksi biji kakao turun adalah adanya alih fungsi lahan dari kakao menjadi sawit. Sindra mengatakan, program Gernas Kakao yang dijalankan oleh Kementerian Pertanian sejak 2009 belum maksimal karena baru mencakup 26 persen dari keseluruhan area nasional. Sindra berharap, program ini bisa terus berjalan agar produksi naik sehingga impor biji kakao berkurang dan industri berkembang.

Seiring dengan hal tersebut tarif bea keluar biji kakao juga harus direvisi oleh pemerintah. Tak hanya itu, Sindra juga mengusulkan agar pemerintah membebaskan PPn sebesar 10 persen agar bisa meningkatkan daya saing dan penghasilan petani kakao.

sumber : http://www.republika.co.id

Indonesia Masih Kekurangan Kakao

WE Online Jakarta- Sebagai komoditas perkebunan yang banyak disukai dan dibutuhkan industri, produksi kakao tergolong memiliki masa depan yang baik di Indonesia walaupun pengusahaan komoditas kakao di Indonesia terus menurun akibat produktivitas lahan menurun, konversi tanaman, dan pengalihan fungsi lahan.
Menurut Executive Director Asosiasi Industri Kakao Indonesia Sindra Wijaya, kondisi tersebut menyebabkan industri dalam negeri harus mengimpor 110.000 ton kakao dari luar negeri. Pada tahun 2014, kebutuhan dan produksi kakao di Indonesia sebenarnya mencukupi, yaitu 400.000 ton.
"Namun, ada sebagian kakao tersebut diimpor dalam kondisi mentah. Akibatnya kita harus impor lagi untuk kebutuhan dalam negeri," ujarnya di Jakarta, Rabu (29/7/2015).
Kebutuhan kakao untuk industri diperkirakan meningkat menjadi 450.000 ton. "Kami ragu produksi kakao dari petani mencukupi, bahkan cenderung menurun dibandingkan dengan tahun lalu. Apalagi terjadi alih fungsi lahan kakao di Sulawesi menjadi sawit," katanya.
Sindra berharap ada revisi tarif bea keluar untuk menahan ekspor kakao, yang kini 0%-15%. Pihaknya berharap agar tarif bea keluar tersebut mencapai flat 15%. "Jadi produksi kakao lokal bisa diserap oleh industri dan impor kakao bisa dikurangi sehingga bisa memperbaiki neraca perdagangan," ucapnya.
Para pelaku industri kakao juga berharap PPN komoditas primer bisa kembali dibebaskan. Pemberlakukan pajak ponambahan nilai memengaruhi produktivilas pclani dan sektor hulu.
"Pemberlakukan PPN baru dilakukan tahun lalu. Kami berharap kembali dibebaskan sehingga membantu menaikkan daya saing industri," ujarnya.
Sindra mengatakan, pihaknya juga meminta agar pemerintah mengatasi perlakuan diskriminatif terhadap produk jadi kakao Indonesia yang diekspor ke Eropa. Saat ini produk kakao dari Indonesia dikenakan bea masuk 7%-8%, lain halnya dengan produk-produk dari Afrika yang dikenakan bea masuk 0%.
Devisa Indonesia untuk kakao sebesar Rp 1,1 miliar pada tahun 2014. Pada kuartal pertama 2015, devisa telah mencapai 25% dari jumlah tersebut.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, sudah mengirimkan surat permohonan resmi kepada Kementerian Keuangan mengenai tarif bea keluar kakao, tetapi belum ditanggapi. "Sudah berbulan-bulan lalu, nanti kami follow up lagi," tuturnya.
Mengenai diskriminasi ekspor pasar Eropa, Panggah mengatakan, sudah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan. "Namun, ada pernyataan kalau bea masuk ke Eropa diturunkan, barang mereka masuk ke sini juga harus diturunkan tarifnya. Nah itu yang masih dalam tahap negosiasi," ujarnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Jawa Barat-Banten, Slamet Bangsadikusumah, mengatakan, pengusahaan kakao masih menarik minat sejumlah pengusaha perkebunan di Jawa Barat-Banten. "Tantangannya, cuma faktor pengamanan dari gangguan pencurian," ujarnya.
Editor: Boyke P. Siregar
Foto: kebunbibit.id

sumber: http://wartaekonomi.co.id

Stabilkan Harga, Petani Kakao Memilih Untuk Lakukan Fermentasi

Stabilkan Harga, Petani Kakao Memilih untuk Lakukan Fermentasi
Bisnis.com, JAKARTA – Petani biji kakao menyatakan berkomitmen untuk melakukan fermentasi demi menjaga harga komoditas tersebut di pasar lebih baik.
Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKI) Arief Zamroni menyampaikan proses fermentasi kakao dapat mengerek harga hingga ke rata-rata Rp30.000 per kilogram dari biji kakao biasa yang harganya rata-rata berada di level Rp27.000 per kilogram.
“Fermentasi kakao ini amat kami dorong, sesuai dengan Permentan 67 tahun 2014. Meski beberapa petani merasa berat karena penambahan biaya, fermentasi kakao tetap kami sosialisasikan,” jelas Arief saat dihubungi Bisnis.com, Sabtu (1/8/2015).
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Pertanian tengah mendorong petani biji kakao untuk dapat memberlakukan sistem fermentasi biji kakao karena mutu yang lebih baik akan daoat mengerek harga sehingga meningkatkan pendapatan petani.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Yusni Emilia Harahap belum lama ini menyampaikan pihaknya pun terus melakukan sosialisasi, demi menjaga kualitas kakao produksi dalam negeri.
“Kita beri petani pengertian kalau ini harus diterapkan untuk memperbaiki mutu dan harganya lebih baik,” kata Emilia.
Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan produksi rata-rata sebanyak 600.000-700.000 ton per tahun atau sekitar 13,6% dari total produksi dunia.
Jika difermentasi, biji kakao akan menghasilkan cita rasa coklat yang lebih enak serta dapat mengurangi rasa pahit pada biji. Kakao yang difermentasi pun lebih tahan lama karena dapat mematikan bakteri seperti jamur tumbuh di buah tersebut.

Sumber :  http://industri.bisnis.com

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *