Wartaagro.com – PT Perkebunan Nusantara (PTPN X)
mencatatkan Harga Pokok Produksi (HPP) gula diangka Rp 6.000 per kg. HPP ini
dinilai lebih rendah dibandingkan dengan pabrik gula yang dikelola BUMN lain.
“Rendahnya HPP ini menunjukkan tingginya
performance pabrik. Bila di pabrik tingkat efisiensinya rendah maka akan
sangat sulit untuk mendapatkan HPP rendah,” kata Direktur Utama PTPN X,
Subiyono, Rabu (29/7).
Ia menuturkan, pencapaian HPP yang rendah itu merupakan hasil dari proses revitalisasi pabrik gula sehingga tingkat kehilangan dan efisiensi di pabrik sudah semakin baik. Kondisi itu bisa lebih ditingkatkan lagi guna menekan biaya produksi agar HPP bisa lebih rendah.
Dengan HPP yang rendah, maka gula kristal putih lokal bisa bersaing dengan gula impor. Pada Desember mendatang akan mulai diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Agar bisa terus bertahan dan berkembang, industri gula tanah air harus bisa melakukan efisiensi dan melakukan diversifikasi produk.
"Mau tidak mau, kita akan masuk ke era MEA. Untuk itu, memandang industri gula harus dilihat dengan prespektif global bukan hanya PTPN X saja.Dalam menghadapi MEA, bila industri gula dalam negeri tidak mempunyai daya saing maka akan sangat sulit. Sebab, Indonesia akan segera digempur impor gula yang harganya lebih murah,” ujarnya.
Ia pun menyatakan siap menghadapi diberlakukannya MEA. Untuk mengantispasinya, industri gula lokal juga harus melakukan langkah-langkah strategis seperti melakukan otomatisasi dan mekanisasi di ladang (on farm) maupun memulai produksi produk turunan seperti listrik dari ampas tebu maupun bioetanol dari tetes tebu seperti yang sudah dilakukan PG milik PTPN X.
Harga gula lokal juga bakal kalah bersaing dengan gula impor. Misalnya HPP gula Thailand saat ini tak lebih dari Rp 4.500/kg sedangkan HPP (harga patokan pemerintah) gula lokal kini mencapai Rp 8.500/kg.
Ia menuturkan, pencapaian HPP yang rendah itu merupakan hasil dari proses revitalisasi pabrik gula sehingga tingkat kehilangan dan efisiensi di pabrik sudah semakin baik. Kondisi itu bisa lebih ditingkatkan lagi guna menekan biaya produksi agar HPP bisa lebih rendah.
Dengan HPP yang rendah, maka gula kristal putih lokal bisa bersaing dengan gula impor. Pada Desember mendatang akan mulai diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Agar bisa terus bertahan dan berkembang, industri gula tanah air harus bisa melakukan efisiensi dan melakukan diversifikasi produk.
"Mau tidak mau, kita akan masuk ke era MEA. Untuk itu, memandang industri gula harus dilihat dengan prespektif global bukan hanya PTPN X saja.Dalam menghadapi MEA, bila industri gula dalam negeri tidak mempunyai daya saing maka akan sangat sulit. Sebab, Indonesia akan segera digempur impor gula yang harganya lebih murah,” ujarnya.
Ia pun menyatakan siap menghadapi diberlakukannya MEA. Untuk mengantispasinya, industri gula lokal juga harus melakukan langkah-langkah strategis seperti melakukan otomatisasi dan mekanisasi di ladang (on farm) maupun memulai produksi produk turunan seperti listrik dari ampas tebu maupun bioetanol dari tetes tebu seperti yang sudah dilakukan PG milik PTPN X.
Harga gula lokal juga bakal kalah bersaing dengan gula impor. Misalnya HPP gula Thailand saat ini tak lebih dari Rp 4.500/kg sedangkan HPP (harga patokan pemerintah) gula lokal kini mencapai Rp 8.500/kg.
“Dengan pembebanan bea masuk saja, gula Thailand masih
sangat menarik dari sisi harga, apalagi jika nantinya bea masuknya dihapuskan
setelah adanya MEA. Industri kita tidak akan bisa bersaing, karena konsumen
akan memilih gula yang harganya jauh lebih murah,” katanya.
Ia menuturkan, ketika MEA resmi diberlakukan, maka produksi gula lokal tidak akan bisa bertahan menghadapi serbuan produk impor.
Ia menuturkan, ketika MEA resmi diberlakukan, maka produksi gula lokal tidak akan bisa bertahan menghadapi serbuan produk impor.
“Negara tetangga kita seperti Thailand siap membanjiri
pasar dengan produk mereka jika kita tidak bsia meningkatkan daya saing,”
ujarnya.
Seperti diketahui, Thailand saat ini cukup sukses
mengembangkan industri gula. Dengan hanya konsumsi gula tahunan sebesar 2 juta
ton, industri gula Thailand dalam setahun mampu menghasilkan 10 juta ton gula,
sehingga sisanya banyak diekspor, salah satunya ke Indonesia.
“Artinya mereka sudah sejak awal membidik pasar ekspor. Produk gula Thailand cukup bersaing di pasaran karena HPP mereka jauh lebih rendah dari pada gula lokal,” tuturnya.
“Artinya mereka sudah sejak awal membidik pasar ekspor. Produk gula Thailand cukup bersaing di pasaran karena HPP mereka jauh lebih rendah dari pada gula lokal,” tuturnya.
Subiyono mengatakan, rahasia keberhasilan industri gula
Thailand adalah dengan diversifikasi produk industri gula seperti listrik dan
produk turunan lain seperti bioetanol. Gula saat ini bukan lagi menjadi fokus
utama industri di Thailand untuk mengejar laba. Pabrik-pabrik gula di Thailand
justru mengandalkan produk sampingan untuk menutup biaya produksi sehingga
harga gula bisa ditekan serendah mungkin. (kmj/wa3)
sumber : http://wartaagro.com